Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Rabu, 24 September 2014

Makna Syuhada Sebenarnya



Betapa banyak orang Islam saat ini (termasuk mereka yang memperhatikan berita tentang jihad di Palestina) menggelorakan kata "HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID". Masalahnya adalah, apakah syuhada itu harus selalu diberikan kepada orang yang berperang di medan pertempuran?

Kata 'syuhada' dalam pelajaran Islam di sekolah (termasuk sekolah 'berbasis' Islam), maknanya diartikan sebagai orang yang gugur di medan perang melawan 'musuh Islam' dan pasti masuk surga. Maka ketika dewasanya, tidak heran orang yang sejak kecil dididik seperti itu jadi 'panasan', ingin berperang (atau membuat perangnya sendiri dan musuhnya sendiri) karena ingin mati sebagai 'syuhada'.

Ada sebuah hadits yang akan membuat kita terdiam. Dari Abdullah bin Mas'ud: Rasulullah SAW bersabda, "Kebanyakan syuhada dari umatku, adalah mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya." (HR Ahmad)

Aneh sekali, mengapa sebagian besar para syuhada justru meninggal di atas tempat tidurnya? Apalagi Rasulullah sendiri yang mengatakan hal ini. Atau hadits lain seperti ini: "Barangsiapa yang memohon kepada Allah dengan benar untuk mati syahid, maka Allah akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya." (HR Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Mungkin sebagian orang (yang merasa tersinggung dengan hadits ini) pasti akan menilai bahwa hadits ini dhaif atau lemah karena tidak sesuai dengan keyakinannya. Masalah bagi mereka adalah, apakah mereka pernah melihat sejarah Rasulullah? Apakah ada ahli sejarah (siapapun orangnya) yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW wafat ketika dalam pertempuran? Jelas, jawabannya tidak ada! Lalu apakah Rasulullah SAW tidak disebut syuhada hanya karena beliau wafat di atas tempat tidurnya?

Kata 'syuhada' atau 'syahid' memiliki akar kata yang sama dengan kata pada syahadat kita yaitu 'asyhadu' artinya bersaksi, menyaksikan dengan penuh keyakinan (mengenai Allah). Kata 'syuhada' tidak semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata 'syuhada' berarti 'orang yang telah mempersaksikan (dengan sebenarnya)'.

"Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan anak cucu Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka: 'Bukankah aku ini Rabbmu?' Mereka menjawab: Benar, sesungguhnya kami bersaksi (syahidna)."

Ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa manusia, kata yang dipakai adalah "asyhadahum ala anfusihim/mengambil persaksian atas jiwa mereka". Dan mereka menjawab: "Qaalu, bala syahidna/benar, sesungguhnya kami bersaksi".

Demikian pula kata yang sama (syuhada): "Dan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang Shiddiqiin dan Syuhada (saksi) di sisi Rabb mereka, bagi mereka pahala dan cahaya mereka."

Maka jelas bahwa 'syuhada' berarti orang yang menyaksikan (kebenaran Ilahiyah). Menjadi syuhada tidak harus melalui peperangan. Seorang yang meninggal di atas tempat tidurnya pun bisa menjadi seorang syuhada, asal ia memohon dengan benar sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Di zaman Rasulullah, mereka yang gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang tersedia dan dibutuhkan umat pada masa itu (berperang) (yang pengorbanannya diterima oleh Allah) dianugerahi sebuah penyaksian akan kebenaran (haq) melalui gugurnya mereka di medan perang. Tapi, belum tentu jalan pengorbanan yang paling dibutuhkan umat pada setiap masa adalah berperang.

Dengan demikian, maka jelas bahwa belum tentu setiap orang yang gugur di medan perang adalah syuhada, jika pada saat kematiannya tidak dianugerahi sebuah penyaksian akan kebenaran. Juga hal ini berimplikasi bahwa banyak cara lain menjadi seorang syuhada selain melalui peperangan.

Apa yang didapat seseorang ketika berperang (sebagaimana sabda Nabi) bergantung pada niatnya. Untuk siapa ia perang? Apakah ia persembahkan kematiannya untuk Allah dan hanya demi memuliakan Islam? Apakah dengan adanya kita Islam jadi bertambah kemuliaannya? Atau mungkin untuk melampiaskan kebencian pada (yang kita anggap) musuh? Atau untuk membuat status sebagai pejuang Islam? Banyak kemungkinan.

"Bahwa segala amal perbuatan itu bergantung dengan niatnya. Dan bagi setiap manusia itu apa yang diniatkannya. Maka siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada apa yang ia berhijrah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim)

Di atas semua itu, sudah tentu lebih bisa kita pahami sekarang mengapa orang yang telah berhasil menjadi seorang syuhada maka jaminannya adalah surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar